Soal Saldo Rp 13
Triliun
PAREPARE - Misteri saldo Rp 13 triliun di
tabungan milik H. Alimin, petani asal Jalan Gunung Tolong, Kec. Bacukiki Barat,
Parepare, akhirnya terungkap.
Koordinator Humas Bank Indonesia (BI) Makassar, Widodo Cahyono, Jumat, 5 Februari, menuturkan kejadian itu kesalahan petugas mengentri data ke komputer. Pemeriksaan peneliti BI menemukan petugas Mandiri saat itu kebablasan mengetik angka nol yang sepatutnya hanya Rp 1.300.000 menjadi Rp 13.000.000.000.000. "Tak benar jika dikatakan dana sebesar itu adalah transferan teroris atau dana talangan seperti bank Century," tutur Widodo menepis spekulasi yang berkembang di tengah masyarakat. Pengamat Ekonomi dari Unhas, Marsuki DEA menambahkan, kejadian ini sepatutnya menjadi perhatian bagi perbankan membenahi teknologi keuangannya. "Kalau memang benar itu salah input, masak
sampai 12 nolnya," tutur dia, setengah tertawa. Sementara itu, Kapolwil Parepare Kombes Pol Ruslan Nicholas, mengaku sudah mendengar informasi saldo petani yang melonjak hingga triliun. "Kami sudah mendengar kabar itu tapi sepertinya hanya kesalahan cetak saja," kata dia. Terpisah, Pengawas Madya Kantor Bank Indonesia Makassar, Abdul Malik menyampaikan, pihaknya sudah menerima laporan terkait pembengkakan saldo pada rekening salah seorang nasabah Bank Mandiri di Parepare. Kasus tersebut sudah diselesaikan pihak Bank Mandiri dengan nasabah bersangkutan. Lebih lanjut kata Malik, kasus tersebut sebenarnya sudah lama terjadi, sekitar 2008 lalu. "Itu juga sudah disidik pihak kepolisian. Kemungkinan baru terungkap sekarang karena maraknya kasus pembobolan ATM," ungkap Malik. (azh-asw)
Koordinator Humas Bank Indonesia (BI) Makassar, Widodo Cahyono, Jumat, 5 Februari, menuturkan kejadian itu kesalahan petugas mengentri data ke komputer. Pemeriksaan peneliti BI menemukan petugas Mandiri saat itu kebablasan mengetik angka nol yang sepatutnya hanya Rp 1.300.000 menjadi Rp 13.000.000.000.000. "Tak benar jika dikatakan dana sebesar itu adalah transferan teroris atau dana talangan seperti bank Century," tutur Widodo menepis spekulasi yang berkembang di tengah masyarakat. Pengamat Ekonomi dari Unhas, Marsuki DEA menambahkan, kejadian ini sepatutnya menjadi perhatian bagi perbankan membenahi teknologi keuangannya. "Kalau memang benar itu salah input, masak
sampai 12 nolnya," tutur dia, setengah tertawa. Sementara itu, Kapolwil Parepare Kombes Pol Ruslan Nicholas, mengaku sudah mendengar informasi saldo petani yang melonjak hingga triliun. "Kami sudah mendengar kabar itu tapi sepertinya hanya kesalahan cetak saja," kata dia. Terpisah, Pengawas Madya Kantor Bank Indonesia Makassar, Abdul Malik menyampaikan, pihaknya sudah menerima laporan terkait pembengkakan saldo pada rekening salah seorang nasabah Bank Mandiri di Parepare. Kasus tersebut sudah diselesaikan pihak Bank Mandiri dengan nasabah bersangkutan. Lebih lanjut kata Malik, kasus tersebut sebenarnya sudah lama terjadi, sekitar 2008 lalu. "Itu juga sudah disidik pihak kepolisian. Kemungkinan baru terungkap sekarang karena maraknya kasus pembobolan ATM," ungkap Malik. (azh-asw)
Landasan Teori Money Laundry
Istilah pencucian uang atau money laundring
telah di kenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat,yaitu ketika Mafia membeli
perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya .Investasi
terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau Laundromat yang
ketika itu terkenal di Amerika Serikat ,yaitu ketika Mafia membeli perusahaan
pencucian pakaian ini perkembang maju,dan berbagai perolehan uang hasil
kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian
pakaian ini,seperti uang hasil minuman keras illegal,hasil perjudian dan hasil
usaha pelacuran.Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin
berkembang,dengan berkembangnya bisnis haram seperti perdagangan
narkotika dan obat bius yang mencapai miliarab rupiah sehingga kemudian
muncul istilah narco dollar,yang berasal dari uang haram perdagangan narkotika.
Kejahatan pencucian uang ( money
laundring ) belakangan ini makin mendapat perhatian khusus dari
berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga meregional
dan mengglobal melalui kerja sama antar negara-negara. Gerakan ini terpicu oleh
kenyataan di mana kini semakin maraknya kejahatan money
laundering dari waktu ke waktu, sementara kebenyakan negara belum
menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan
yang harus diberantas. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya
terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan
organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik
perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan
pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money
laundering mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbilkan
dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengertian Money
Laundring
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi pencucian uang dalam
Pasal 1 angka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pencucian Uang adalah perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dicurigai merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan sehinnga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.”
Menurut Black’s Law Dictionary
mengartikan money laundering diartikan sebagai:
istilah yang digunakan untuk menggambarkan
investasi atau pengalihan bentuk uang mengalir pemerasan, transaksi
narkoba, dan salah satu sumber yang ilegal ke saluran sah sehingga sumber
aslinya tidak dapat ditelusuri”.
Menurut Konvensi PBB Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perdagangan Illegal Narkotika, Obat- obatan Berbahaya dan
Psikotropika Tahun 1988 (the United Nations Convention Against Illicit Trafic
in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988), money
laundering “adalah Konversi atau pengalihan harta, mengetahui
bahwa kekayaan tersebut berasal dari serius (dpt dituduh) pelanggaran atau
pelanggaran, atau dari tindakan partisipasi dalam tindak pidana atau
pelanggaran, untuk tujuan menyembunyikan atau menyamarkan kekayaan yang tidak
sah atau membantu apapun orang yang terlibat dalam komisi seperti suatu
pelanggaran atau pelanggaran untuk menghindari konsekuensi hukum dari
tindakannya, atau penyembunyian atau penyamaran yang sifat benar, sumber,
lokasi, sifat, gerakan, hak-hak yang berkaitan dengan, atau kepemilikan
properti,mengetahui bahwa kekayaan tersebut berasal dari seorang yang serius
(dpt dituduh) pelanggaran atau pelanggaran atau dari suatu tindakan seperti
partisipasi dalam suatu tindak pidana atau pelanggaran.
Menurut Welling, money
laundering adalah proses yang satu counceals keberadaan, sumber
ilegal, pendapatan, dan tahan penyamaran bahwa pendapatan untuk membuatnya
tampak sah)”.
Pamela H. Bucy dalam bukunya yang
berjudul White Collar Crime: Cases and Marerial, money
laundering adalah penyembunyian keberadaan, sifat ilegal sumber dana
ilegal sedemikian rupa sehingga dana akan muncul sah jika ditemukan)”
Dapat disimpulkan bahwa Pencucian
Uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan
oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram(uang yang berasal
dari tindak kejahatan) dengan maksud menyembunyikan asal usul uang
tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan
terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke
dalam sistem keuangan (financial system)sehingga apabila uang
tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka uang tersebut
telah berubah menjadi sah.
Melalui money laundering pendapatan
atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset
keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.
Dalam perkembangan selanjutnya, yang
termasuk kategori Pencucian Uang adalah orang yang membantu seseorang untuk
menyembunyikan sebuah rumah yang diketahuinya atau patut diketahuinya dibeli
dengan menggunakan uang hasil korupsi, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 di
dalam Pasal 3 ayat (2) bahkan memasukkan unsur percobaan, pembantuan, atau
permufakatan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana yang
diancam pidana penjara dan pidana denda.
Sebagaimana diketahui, pemanfaatan bank
dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa:
a.
menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;
b.
menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan rekening/giro;
c.
menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih
besar atau kecil;
d.
bank yang bersangkutan dapat diminta untuk memberikan kredit kepada nasabah
pemilik simpanan dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;
e.
menggunakan fasilitas transfer atau EFT (Electronic Fund Transfer);
f.
melakukan transaksi ekspor impor fiktif dengan menggunakan sarana Lie
dengan memalsukan dokumen-dokumen yang dilakukan bekerja sarna dengan oknum
pejabat terkait; dan
g.
pendirian/pemanfaatan bank gelap
Artikel Terkait :
Uang Diputar di
Banyak Bank
Beragam cara dilakukan
pelaku tindak pidana pencucian uang (money loundry) agar uang yang didapatkan
secara tidak sah bisa dianggap seolah-olah sah. Hatief Hadikoesoem selaku
Direktur Pengawas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Indonesia, memaparkan ada tiga mekanisme proses pencucian uang.
Pertama, setelah pelaku mendapatkan uang secara tidak sah yang bisa bersumber dari penyuapan, korupsi, penyelundupan barang, penyelundupan manusia, perdagangan manusia (trafficking), perdagangan narkoba, perampokan, perjudian, dan tindakan lain yang melanggar hukum, pelaku akan menempatkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan.
Penampatan bisa dilakukan di bank, baik bank umum pemerintah, bank umum swasta, bank perkreditan rakyat, bank asing, bank rural, maupun bank joint venture. Uang juga bisa ditempatkan di perusahaan sekuritas dan pasar modal dengan membeli saham-saham. Bisa pula di lembaga keuangan, asuransi, dana pensiun, dan manajer investasi.
Biasanya pelaku tidak menempatkan uang tersebut di satu tempat, melainkan dibagi-bagi ke beberapa tempat. Jangka waktu penempatan biasanya juga tidak lama karena akan mudah dilacak. Setelah beberapa saat ditempatkan, uang tersebut langsung akan dipindahkan ke tempat-tempat penyimpanan lain dalam banyak bentuk transaksi keuangan. Tujuannya, agar asal usul uang tersebut sulit dilacak (audit trail). Proses pemindahan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks inilah yang disebut proses layering.
Proses ketiga adalah integration yang memiliki pengertian mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga bisa digunakan dengan aman. Sehingga pelaku bisa dengan mudah berkelit dan lepas dari pelacakan tindak pidana pencucian uang.
Selain menggunakan ruang lingkup bisnis keuangan, agar uang haram yang didapat dianggap seolah-olah sah, pelaku biasnya membelanjakan uangnya untuk produk-produk mahal, seperti properti, mobil, motor, dan lainnya. Tidak jarang, pelaku juga menginvestasikan uang tersebut dalam bisnis di sektor ril seperti membuka usaha industri atau membantu permodalan di perusahaan-perusahaan. “Proses transfer dana ini tidak hanya berlangsung di bank-bank dalam satu negara melainkan juga ke bank-bank luar negeri,”ujar Hatief. (sri murni)
Harus
Curigai Transaksi Besar
Kerjasama lembaga-lembaga
keuangan seperti bank, pedagang valuta asing, perusahaan asuransi, sekuritas,
manajer investasi, dan dana pensiun sangat penting untuk mencegah tindak pidana
pencucian uang. Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia, telah menetapkan agar
lembaga-lembaga keuangan teliti dalam setiap transaksi keuangan yang dilakukan.
Hatief Hadikoesoem selaku Direktur Pengawas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia menjelaskan, setiap lembaga keuangan di atas wajib membuat laporan transaksi keungan mencurigakan (LTKM), laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) dan laporan pembawaan uang tunai (LPTU) atau cross border cash carrying yang biasanya dilakukan bea dan cukai. “LTKM harus dibuat kalau ada transaksi yang tidak wajar. Misalnya mentransfer dana dalam jumlah besar, membuka deposito dalam jumlah besar, dan tindakan lain dari nasabah yang di luar kebiasaannya,”ungkap Hatief.
Beberapa ciri transaksi tidak wajar diantaranya, nasabah melakukan transaksi yang menyimpang dari karakteristik atau pola kebiasaan transaksi. Misalnya, menyetorkan uang deposito dalam jumlah cukup besar. Ketika ditanya untuk mengisi prosedur informasi nasabah, biasanya ia berkelit dan tidak mau diketahui sumber dana tersebut.
Padahal, untuk bank dan PVA sudah ditentukan menggunakan prinsip know you costumer (KUC) yang intinya menanyakan informasi kepada nasabah tentang asal dan kegunaan dana nasabah. “Kalau ada nasabah atau calon nasabah yang mau menyimpan uang dalam jumlah besar kemudian dia menolak memberikan informasi sumber uang tersebut dan memilih untuk tidak menyimpan uang di bank, itu patut dicurigai. Bank jangan asal menerima dana. Mentang-mentang ada orang membawa banyak uang, kemudian begitu saja menerimanya tanpa mengetahui informasi asal uang tersebut,”pinta Hatief.
Jika menemukan nasabah yang seperti itu, lanjut Hatief, bank harus segera membuat LTKM dan melaprokan kepada PPATK. Pelaporan dibuat paling lambat tiga hari kerja setelah kejadian. Sementara, kecurigaan juga perlu dilakukan untuk transasi keuangan tunai.
Misalnya, seseoang menukar uang rupiah atau mata uang asing di PVA dalam jumlah komulatif Rp 500 juta ke atas, baik dilakukan satu kali maupun berulang-ulang. Transaksi bisa berupa penerimaan uang di rekening bank, penyetoran, penitipan baik yang dilakukan dengan uang tunai atau surat berharga seperti traveller cheque, cek, maupun bilyet giro. Pelaporan transaksi uang tunai ini harus dilakukan paling lambar 14 hari kerja setelah kejadian.
Sedangkan untuk pembawaan uang tunai ke luar negara RI, hanya diperbolehkan dalam jumalh tidak sampai Rp 100 juta. Jika melebihi jumlah tersebut, si pembawa uang diharuskan membuat laporan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dan Ditjen BC diwajibkan melaporkan kejadian tersebut kepada PPATK paling lambat lima hari setelah kejadian. (sri murni)
Sumber :
No comments:
Post a Comment